Selasa, 13 Februari 2018

Begini Formula Rahasia Saya Mengajarkan Sesuatu Kepada Orang Lain


Saat menulis ini, saya sedang menempuh pendidikan S2 dan beberapa hari terakhir saya sering meninggalkan ruang kelas kuliah saya. Bukan karena saya malas, atau melakukan sesuatu yang mubadzir terhadap ilmu, Justru karena saya menginginkan ilmu bukan hanya dari bangku kuliah, tetapi juga dari luar dinding-dinding kampus. Maka dari itulah, saya melakukan bolos sebagai usaha pencarian ilmu yang lebih akurat.

Bisa di bilang saya bertapa sejenak. Puasa dari ilmu kampus dan masuk ke dalam ranah realitas. Saya bertemu orang-orang jalanan. Saya bertemu pelbagai manusia di kota dan desa. Saya merenung, berupaya menemukan hal-hal yang mendekati kebenaran dalam pendidikan.


Lalu, pada suatu masa, pikiran saya memunculkan suatu ikhtisar. Entah berasal dari rangkuman ilmu yang telah saya pelajari beserta pengalaman saya pada dunia pendidikan, atau muncul begitu saja. Yang jelas, muncul sebuah rumusan, hal-hal yang menjadi sebuah formula dimana formula ini berupa prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam seni mengajarkan sesuatu kepada orang lain.

Saya pun mencoba menguji formula tersebut pada beberapa momen untuk menggiring pemikiran, dan mengajarkan sesuatu hal kepada orang lain. Tidak hanya di ruang kelas, tetapi juga pada waktu-waktu yang tak terduga seperti ketika sedang dalam forum, beradu argumen, atau mungkin sedang berbincang santai dengan teman-teman di meja kopian.


Dan sebagian besar berhasil! pebelajar saya tanpa sadar telah mempelajari sesuatu yang mana saya tujukan kepadanya. Sebuah metode transfer ilmu yang mungkin dapat diaplikasikan tidak hanya dalam dunia pendidikan, tetapi juga dimanapun ketika anda ingin mengajarkan sesuatu hal kepada orang lain. Sebuah formula yang mana bermanfaat bagi dunia mendidik manusia (i think).

Anda berhak percaya, dan berhak tidak. Itu tergantung pikiran dan perspektif anda. Saya tidak memaksa. Saya menuliskan ini tidak ada maksud yang buruk kepada anda. Saya hanya sekadar sharing mengenai apa yang saya temukan daripada pengalaman yang saya alami. Wise man say, "The best teacher in the world is  your experience". Right?

Jadi dari awal, telah saya katakan dan akui bahwasanya ini murni hasil pemikiran saya yang tidak begitu empirik dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara saintifik. Anda boleh percaya atau tidak. But it works for me


BEGINI FORMULANYA

Berikut ini ialah sebuah pesan singkat yang saya tulis mengenai formula ini. Saya tidak bisa memberitahukannya secara detail pada tulisan ini karena bisa jadi menumbuhkan persepsi yang salah. Jadi silahkan petik buah positifnya dan saya senang jika anda dapat mengembangkan ini menjadi lebih baik sesuai dengan versi anda.


Formulanya sebagai berikut. Baca kalimatnya secara baik-baik dan renungkan sejenak :

"KUNCI BELAJAR BENAR-BENAR BERHASIL ADALAH PEMBELAJARAN TERSEBUT BERMAKNA. PEMBELAJARAN YANG BERMAKNA DAPAT DIMUNCULKAN DENGAN RASA PENASARAN."


Silahkan dibaca beberapa kali, dipahami, dan mungkin anda berkenan mengembangkan. Saya tidak ingin memberikan tafsir menurut saya pribadi. Biarlah menjadi suatu kalimat yang multitafsir.


BEBERAPA PENGAPLIKASIAN DARI FORMULA

Berikut hanya sedikit bocoran yang saya beritahu bagaimana saya mengembangkan rumusan diatas dalam hal-hal mengajarkan sesuatu kepada seseorang. 

  • Melibatkan keberadaan Tuhan dalam mengajarkan sesuatu kepada orang lain. PEMBELAJARAN TERSEBUT BERMAKNA adalah kunci belajar dapat berhasil. Maka, yang saya lakukan ialah saya melibatkan spiritualitas dalam mengajarkan sesuatu. Niat yang baik akan melahirkan sesuatu yang baik. Maka, dalam saya menanamkan sesuatu pada isi kepala orang lain, pada isi kepala saya harus mengingat Allah Tuhan yang maha Esa (I'm a moslem). Jika saya tidak menghadirkan keberadaan Tuhan dalam diri dan pikiran saya, maka pembelajaran mungkin akan terkesan biasa-biasa saja dan cenderung sulit untuk diterima oleh orang. Maka, sebisa mungkin saya menjaga bahwa kehadiran Tuhan harus meliputi dalam pembelajaran. Saya menanamkan suatu makna dalam pikiran saya bahwa segala ilmu itu sumbernya Tauhid. 

    Terlalu berat untuk dipahami? Sorry for that, Jika belum cetho, mari kita lanjutkan pengembangan saya terhadap rumusan. Saya berharap kelak anda dapat pemahaman dari tulisan saya diatas.

  • Menanamkan suatu pertanyaan BESAR di kepala orang lain. Hal ini merupakan upaya saya dalam menanamkan RASA PENASARAN bagi pebelajar. Bagaimana caranya? sangat banyak. Silahkan buat oleh analisa anda. 

    Berikut sebagai contoh suatu ketika saya pernah mengeluarkan statment nyeleneh yang menimbulkan PERTANYAAN BESAR bagi orang-orang seantero meja kopian. Saya pernah berkata "Kalian ngerti ga, kalau ada bagian pada tubuh manuisa yang ga berguna."
    "Apa?"
    "Diatas bibir, dibawah hidungmu ada semacam lengkungan itu kita dari SD sampai sekarang ga tau itu namanya apa dan fungsinya buat apa."

    Setelah saya memunculkan statement itu, maka terjadi konflik dan perdebatan yang cukup seru mengenai lengkungan itu hingga pencarian sumber saintifik yang dilakukan secara tidak terpaksa oleh orang-orang yang penasaran. Lalu kita tahu bahwa nama dari lengkungan itu ialah ....
    Dan fungsinya untuk .....
  • Mengganti kata SALAH menjadi HAMPIR. Hal ini sangat sering saya gunakan ketika pebelajar mendapatkan informasi salah dari pikirannya sendiri atau sumber yang kurang jelas. Biasanya pendidik langsung mengatakan SALAH. Tapi, cobalah menggantinya dengan HAMPIR sembari memberikan ekspresi dorongan agar ia menemukan yang tepat. Dan amati bagaimana reaksi dari orang tersebut? (Ini termasuk memberikan rasa penasaran)

    "Apa ibukota Kalimantan Tengah?"
    "Pontianak"
    "HAMPIR!"

    Siapapun akan penasaran dengan kata ajaib pengganti kata salah yaitu HAMPIR.

    "Apa ibukota Kalimantan Tengah?"
    "Pontianak"
    "Salah!"

    Bagaimana perasaan anda jika mendapat jawaban "salah"?
Sejatinya masih banyak pengembangan yang telah saya kembangkan dari formula diatas. Namun saya tidak ingin membagikannya. Saya membiarkan kalimat tersebut multitafsir. 

Percaya atau tidak? Berani mencoba atau tidak? it's depend on you, not depend on me 

Terimakasih banyak dari saya untuk waktu anda dalam membaca tulisan ini. Bagi saya, sudah cukup untuk menuliskan apa yang saya pikirkan tanpa harus peduli pada angka berapa orang yang membacanya. Semoga anda dapat membuahkan hal positif dari apa yang saya bagikan. 

Senin, 10 April 2017

Semar dan Flat Earth

Alkisah dikerajaan Amartha terdapat 4 sekawan yang biasanya bersantai sore di pelataran warung nyai Dasima. Mereka biasa berkelakar sembari memesan 3 teh manis dan 1 kopi hitam sebagai teman minum. 4 sekawan tersebut yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong atau biasa orang-orang desa menyebut mereka dengan Punakawan.

Biasa Punakawan menghabiskan waktu sore mereka dengan sekadar mengobrol, bercanda, atau sampai berdiskusi memunculkan gagasan baru yang mengembangkan pola pikir mereka dalam melihat sesuatu, memperlebar sudut perspektif mereka dalam melihat masalah yang nyata, serta mengasah akal pikir dan hati mereka dalam menyikapi sebuah fenomena masyarakat yang terjadi.

Semar, yang paling berpengalaman diantara mereka, kadang mengajarkan sesuatu hal baru bagi kawan-kawan yang lainnya. Sesuatu hal yang menambah pengetahuan mereka dan menjadi ilmu yang berguna bagi kehidupan mereka. Lama kelamaan, Semar dianggap guru mereka yang bijaksana, yang dapat memberikan ilmu baru, pencerahan ketika mereka menghadapi masalah, dan orang yang dimana dapat memberikan gagasan yang tepat untuk mereka. Ketika itu pula secara otomatis, proses pendidikan dan pembelajaran terjadi di warung tersebut. Sore mereka sekarang tidak hanya berkelakar saja, namun mereka haus akan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Semar. Warung nyai Dasima kini, tidak hanya sebagai sarana kumpul-kumpul, namun sudah bergeser fungsinya sebagai ruang pendidikan mereka.

Setelah ilmu yang didapat dari Semar, juga ketajaman berfikir yang sudah mereka asah lewat proses pendidikan tersebut. Mereka mengamalkan ilmu yang mereka pelajari untuk kemaslahatan orang banyak dan mampu tidak hanya sebatas teori namun juga perlakuan dalam menangani masalah di masyarakat. Tak heran orang-orang desa pun menganggap mereka manusia setengah dewa. Melihat Punakawan yang berkembang, orang-orang desa mulai mengikuti jejak mereka. Setiap sore selepas bekerja di sawah mereka datang ke warung nyai Dasima untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat dari Semar. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, orang yang datang semakin bertambah banyak.

Hal ini menimbulkan keresahan bagi raja Amartha yang ketika itu dipimpin oleh Sengkuni. Seorang raja yang licik dan menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri dan kerajaannya. Beliau tidak senang karena kesadaran kolektif mulai terbentuk di warung itu. Orang-orang tidak lagi berfikir mengenai hidup tentram dengan anak banyak. Namun sudah mulai berfikir mengenai tatanan kerajaan, mengkritisi kebijakan kerajaan yang salah, dan mulai mengendus sifat tidak baik dari raja Sengkuni. Namun raja Sengkuni, tidak bisa serta merta membubarkan perkumpulan tersebut karena tidak ada alasan rasional dan kuat untuk itu. Bisa-bisa pembubaran malah memperkuat argument bahwa ada yang salah dari kepemimpinan raja Sengkuni.

Di suatu sore, datang Ranto Gudhel ke perkumpulan tersebut dengan tujuan melihat apa yang guru Semar ajarkan. Ranto Gudhel adalah orang desa yang telah kembali dari kota. Dan kala itu, Semar sedang menerangkan tentang fakta bahwa bumi itu berbentuk bulat. Ranto Gudhel yang sombong karena telah datang dari kota serta akrab dengan teknologi di perkotaan, memakai internet untuk menemukan 1001 alasan tanpa dasar membantah fakta yang telah disampaikan Semar. Semar yang kikuk dengan bantahan tersebut tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan Ranto Gudhel menerangkan sesuatu hal yang tak lazim namun dapat diterima orang-orang di warung tersebut yaitu bahwa BUMI ITU DATAR. Disitu pula Ranto Gudhel mengenalkan sebuah teknologi yang disebut internet. Sebuah teknologi yang dapat menghubungkan antar manusia dan memperoleh informasi secara cepat.

Kabar tersebut terdengar ke telinga Sengkuni di istana, dan beliau senang bukan kepalang. Dengan cepat, beliau telah memperoleh cara bagaimana memanipulasi orang-orang yang ada di warung tersebut. Keesokan harinya, pihak kerajaan memasang WiFi di warung nyai Dasima dan membagikan alat untuk mengakses internet dari WiFi tersebut kepada orang-orang desa yang belajar sore disana. Pemasangan tersebut dengan dalih bahwa kerajaan berbaik hati untuk menyediakan sumber belajar yang luas. Tidak hanya satu sumber saja (guru Semar). I’tikad “baik” raja Sengkuni pun disambut hangat oleh orang-orang desa disana. Dan mulai detik itu, pembelajaran memakai teknologi yang namanya internet.

Keesokan harinya, pembelajaran sore itupun tidak seperti biasanya. Banyak orang-orang desa yang tidak sependapat dengan Semar karena mendapat informasi bebas dari internet. Pembelajaran seakan semrawut, dan orang-orang saling membela kebenarannya masing-masing. Pembelajaran hari itu, merupakan titik balik dimana sosok Semar sebagai guru telah digantikan oleh teknologi internet.

Lambat laun, orang-orang desa datang ke warung Nyai Dasima bukan untuk belajar lewat Semar lagi. Namun, memanfaatkan WiFi yang ada disana untuk memperoleh hal-hal menarik dari internet. Mereka merasa selama ada teknologi ini, semua masalah bisa dicari dan dipecahkan.

Kemudian, orang-orang desa mulai ketergantungan dengan teknologi ini. Tidak hanya sore saja, warung nyai Dasima pun penuh di hari-hari kerja. Tidak lain dan tidak bukan, untuk memanfaatkan WiFi di warung tersebut.

Ketergantungan ini merupakan harapan yang jauh-jauh hari sudah dinanti oleh raja Sengkuni. Beliau mulai melangkah ke tahap selanjutnya. Kerajaan dibawah perintah raja Sengkuni mulai meng-upgrade teknologi WiFi tersebut terutama pada jarak jangkaunya, sehingga orang-orang dapat menikmati teknologi WiFi dimanapun tanpa harus datang ke warung nyai Dasima. Dan ditambahkan regulasi baru bahwa alih – alih WiFi tersebut membutuhkan biaya perawatan dan perbaikan, maka kerajaan mulai menarik uang atas jasa WiFi yang ada di warung nyai Dasima. Regulasi akses nya pun dibatasi oleh kerajaan. Hanya situs-situs hiburan yang tidak bermakna dan situs informasi yang baik untuk kerajaan saja yang dapat diakses lewat internet entah itu benar atau tidak benar. Serta peraturan-peraturan lainnya yang bisa diatur sedemikian rupa oleh kerajaan atas kuasa WiFi tersebut.

Dan pada akhirnya, rencana jahat raja Sengkuni berhasil. Saat ini orang-orang desa tidak memikirkan lagi mengenai kesadaran kolektif, namun telah dibuai dengan dunia angan-angan hiburan di internet. Otak mereka sudah dipenuhi dan dijejali informasi dunia buaian. Dan kendali kontrolnya dipegang oleh sang raja. Tidak ada yang berkutik dan bisa melawan karena sistemnya begitu kompleks. Lalu, bagaimana dengan Semar dan Punakawannya? Masih tetap berkelakar namun jarang di warung nyai Dasima melainkan di grup whatsapp punakawan yang beranggotakan 4 orang. Meskipun jarang, mereka sesekali berkumpul disana. Perbedaannya mereka tidak bercanda tawa dan menikmati waktu sore dengan berbincang. Tapi, Petruk sibuk dengan pesan whatsappnya yang menumpuk, Gareng terpaku melihat hiburan video di YouTube, Bagong, sibuk memfoto teh, kopi, dan singkong untuk di post di Instagram. Semar? Mau tak mau diapun ikut ber euphoria dengan snapgramnya. Selamat!

Minggu, 26 Juni 2016

PKKMB FIP UM GOLDEN 2016 : Membangun Fondasi Yang Kokoh Untuk Sang Penerus Bangsa Garuda

Bismillahirrahmanirrahim

“Beri aku 1000 orang tua, maka niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”
(Bung karno)

Saya awali tulisan saya ini dengan quotes dari Ir. Soekarno atau lebih dikenal
sebagai Bung Karno. Seorang founding father Indonesia sekaligus Presiden pertama republik ini yang tangguh dan melegenda. Saking me-legendanya Bung Karno, power dari kalimat ini yang beliau lontarkan pada orasinya masih terkenang sampai sekarang. Khususnya pada kalimat “Beri aku 10 pemuda, maka akan kugoncangkan dunia”. Ada apa dengan kalimat ini?  

Kalimat tersebut dimaknai bahwasanya pemuda merupakan perlambangan sebuah bangsa. Pemuda merupakan agen penggerak, pembangkit, yang di dalamnya terdapat jiwa-jiwa progresif, tangguh nan kuat untuk menggoncangkan, menghentakan, merubah dunia menjadi lebih baik. Apalagi pemuda dari kaum intelektual. Kaum yang di pandang mempunyai nilai sisi ilmiah nan produktif (baca : Mahasiswa). 

Dalam “memproduksi” pemuda intelektual atau Mahasiswa, tak sedikit proses yang harus dilewati. Tak semudah apa yang dibayangkan. Bak layaknya burung garuda yang gagah perkasa, dia harus melewati proses yang rumit dan sulit. Dari sebuah embrio yang rapuh dan bertahan sebegitu kerasnya hingga menjadi burung raja angkasa garuda. Dalam menjadi seorang Mahasiswa pun sama halnya. Kata Maha dalam Mahasiswa, bisa diartikan bahwasanya sudah beda level antara siswa dengan Mahasiswa. Tak bisa disamakan. 

Membentuk Mahasiswa yang benar-benar mahasiswa, memang dalam prosesnya tidak sedikit waktu yang dibutuhkan. Namun dibalik itu semua, perlu lah sang siswa pertama kali melewati serangkaian acara yang menjadi adaptasi-naturalisasi mereka dengan pernak pernik kampus dan atmosfernya, sehingga mereka tidak shock dengan tempat dimana nanti mereka menimba ilmu (baca : Ospek).  

*** 

OSPEK di identikan dengan Perploncoan. Demikianlah yang tercetak di frame pelajar pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Seolah OSPEK dan Perpeloncoan menjadi satu kata yang tak terpisahkan; karenanya setiap mendengar kata "OSPEK" bayang-bayang sadisme dan intimidasi langsung muncul menimbulkan kesan mistis nan horror pada kata alias akronim yang
satu ini. Naas nya, realita yang terjadi tidak dapat menjadi pembenaran akan kesucian OSPEK. Beberapa pihak (baca:Mahasiswa) yang tidak bertanggung jawab, menjadikan OSPEK sebagai ajang balas dendam dan pemerasan bahkan tak jarang menimbulkan korban. Dari situlah kesan angker pada tubuh "OSPEK" lambat-laun muncul dan berkembang sehingga atas urgensinya Pemerintah turun tangan membuat aturan berikut sanksi khusus tentang OSPEK yang harus dipatuhi setiap kampus secara nasional. Berangkat dari Ironi tersebut lagi-lagi kita sebagai mahasiswa haruslah dengan sadar ikut membersihkan citra buruk yang melekat pada OSPEK. Mau-tidak mau. Siap tidak siap. Terkhusus kepada mahasiswa yang terlibat langsung dalam kepanitiaan OSPEK di kampus masing-masing.

Artinya, melalui OSPEK, mahasiswa dapat menanamkan tri dharma Perguruan Tinggi yang selaras dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Melalui OSPEK pula (seharusnya) mahasiswa dapat memahasiswakan siswa dengan pencerdasan akan nilai-nilai kebangsaan dan patriotik. OSPEK menjadi gerbang awal, cikal - bakal tumbuhnya cendekiawan muda nan perkasa tanah Indonesia. Dimulai dari kampus kita. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

***

Fakultas Ilmu pendidikan. Sebuah Fakultas di Universitas Negeri Malang yang diharapkan dapat sukses menelurkan generasi muda produktif nan cerdas dan bisa membentuk kepekatan atmosfer organisasi. Sebuah Fakultas yang harus bisa menjadi inkubator menjaga suhu didalamnya agar lahir dan tetap tumbuh cendekiawan yang Hard-skill maupun Soft-skill-nya terasah dengan tegas.

Jika kita tarik kebelakang, jiwa organisator yang tertanam dan tumbuh dalam  nurani mahasiswa tidak terlepas dari apa yang telah kita ulas pada guratan-guratan sebelumnya yakni adanya sebuah rangkaian acara yang menjadi gerbang awal "kaderisasi" sebagai wujud adaptasi-naturalisasi siswa SMA-sederajat menjadi Mahasiswa. Sebuah polesan, sebuah hentakan, sebuah hunusan pertama untuk memahasiswakan siswa. Melucuti kemanjaan dan karakter-karakter negatif siswa SMA-sederajat untuk kemudian menjadi patriot muda yang memiliki andil untuk peradaban bangsa yang gemilang.

Adalah Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) FIP UM yang menjadi "OSPEK" -nya Fakultas Ilmu Pendidikan. Digawangi oleh panitia mahasiswa dengan seleksi panjang (termasuk seleksi alam) dan proses yang matang. Diprakarsasi oleh segelintir mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (BEM FIP) semakin mempertajam dan memutakhirkan konsepan acara. Dibungkus dengan restu dari pihak Universitas dan Fakultas maka jadilah PKKMB GOLDEN FIP UM 2016. Sebuah kegiatan yang sangat sakral bagi aktivis FIP UM. betapa tidak, lebih dari seribu mahasiswa baru tahun ini, akan mengikuti rangkaian kegiatan PKKMB FIP UM 2016. Menjadi sebuah tanggung jawab dan tantangan bagi panitia untuk benar-benar dapat menyandang gelar "maha" pada status "siswa" mereka. Sungguh sebuah pertaruhan idealisme jikalau panitia (yang merupakan mahasiswa) tidak dapat memahasiswakan calon penerus bangsa.

Dalam bahasa saya, PKKMB ini bagaikan sebuah proses tumbuhnya garuda yang gagah. Ketika beberapa embrio keluar menjadi telur, bertahan dari iklim yang ekstrim dan akhirnya menetas menjadi sang Garuda yang gagah perkasa. Sebagian yang lain harus menerima ketidaksempurnaan mereka. Pun dengan PKKMB ini, dari seribu lebih mahasiswa pasti ada yang tidak benar-benar menghayati status baru yang disandangnya. Sebagian malah apatis cenderung individualis dan jauh dari kesan idealis kebangsaan. Melihat kenyataan tersebut, panitia benar-benar harus berfikir keras dalam membuat konsepan acara yang bisa menetaskan siswa menjadi mahasiswa. minimal tahun ini lebih banyak yang menjadi "mahasiswa" sesungguhnya, seperti yang di agungkan rakyat indonesia.  Karenanya tak berlebihan jika dalam analogi sederhana, saya ibaratkan PKKMB ini bak membuat sebuah fondasi. ketika fondasi tersebut kokoh dan luas, maka gedung pencakar langitpun dapat dibangun diatasnya. Tetapi jika fondasi tersebut rapuh dan sempit, jangan kan rumah, gubuk pun saya pikir akan sangat sulit untuk berdiri. inilah PKKMB dimana kita akan membentuk pondasi itu didalam setiap relung hati dan alam berfikir seribu lebih siswa sehingga menjadi dasar yang kokoh dan luas untuk kemudian dapat didirikan wawasan kebangsaan dan kecerdasan abadi bak gedung pencakar langit. lantas, Siapa yang dapat membuat pondasi itu? satu kata. ANDA! (Mahasiswa)

Selasa, 13 Oktober 2015

Sajak Kelas Pekerja

Tanggal 13 Oktober 2015. Saya di minta mengisi orasi di Graha Cakrawala Universitas Negeri Malang.

Kala itu saya kaget bukan kepalang. Karena saya kira audiens saya mahasiswa, namun ternyata publik umum yang akan mendengar ocehan saya.

Saya membawakan tulisan orasi saya yang berjudul "Sajak Kelas Pekerja". Dengan di iringi lagu donna donna lewat violin yang di mainkan oleh kawan saya (mas Basuki), saya mulai mengaum di panggung bak harimau mimbar..

Berikut orasi saya yang saya tulis sendiri. Yang mana merupakan kritik dari slogan pemerintah 'AYO KERJA !' dan isu yang sedang terhangat ini mengenai MEA.

SAJAK KELAS PEKERJA

Wahai, Untukmu...
Yang sekarang nyaman duduk di sofa yang empuk
Yang sekarang kami beri jubah dan mahkota
Yang sekarang engkau kami jadikan bak raja-raja di tanah ini

Tolong beri sedikit waktu untuk kami bicara
Tolong beri sedikit waktu untuk dengar suara ini
Suara yang meretas menembus batas-batas atas ruh yang di kandung badan
Suara atas kebaikan dan kebenaran yang menegarkan

Wahai, Kawanku disana...
Yang sekarang sedang menghisap sebatang lisong
Atau yang sekarang sedang mengoceh di ruang sidang
Atau mungkin sedang duduk manis menontonku mengoceh di depan muka

Kami ingin menyampaikan sesuatu padamu
Kami ingin menyampaikan kata-kata sayang kami padamu

AYO KERJA !!!! (nada perintah dan keras)

Apakah terdengar santun di telingamu?
Apakah terdengar lembut ditelingamu?
Apakah terdengar seperti kata sayang di kuping mu?

ATAU TERDENGAR SEPERTI SEBILAH PISAU YANG MENYAYAT??
ATAU MUNGKIN SEPERTI DENTUMAN BOM MIMPI BURUK YANG TAK KUNJUNG REDA??

Kawanku,
APAKAH KAU BUTA????
Atau nalarmu yang miring akibat istana mewah dan tahta yang kami beri??

Apakah kau tidak lihat?
Sebagian dari kami bekerja siang malam, banting tulang, tak sadarkan diri seperti orang sinting melupakan sakitnya letih dan perih !

dan kau masih berkata 'AYO KERJA !'

Kami bertanya
Mengapa?
Tapi sering kali pertannyaan kami membentur meja-meja kekuasaan yang macet

Dan apakah kau tidak melihat?
Sebagian darimu bekerja setengah hari dengan upah selangit yang diperoleh dari uang kami, dari pajak-pajak kami.

Dan kau masih berkata 'AYO KERJA !' 

Kami bertanya
Mengapa?
Tapi lagi-lagi pertanyaanku habis terkikis birokrasi dan segelintir orang besar

Mengapa dan mengapa kau terus berkata

"AYO KERJA !!!"

Apakah bagimu kami bangsa yang malas?
Sedang nenek moyang kami bercerita
'Kita adalah bangsa yang besar'
Kulit sawo matang satu-satunya di dunia adalah bukti bahwa kami adalah bangsa pilihan Tuhan
Bangsa yang tangguh
Yang hanya dengan 10 orang pemuda kami bisa mengguncang dunia

Engkau masih berkata 'AYO KERJA !'

Kawanku, 
Kita bukan sapi perah
Kita sejatinya pemilik tanah surga ini
Dan sekarang kaum teknokrat asing yang mengatas namakan pertumbuhan ekonomi
Mengubah kita menjadi jongos di rumah sendiri

Sebagian dari kami turun ke jalan
Semangat laksana api yang membara
Berpanji keadilan dan kebenaran

Mengingatkan sebagian dari engkau yang alpa

Tapi kami berkahir dengan peluru panas menusuk jidat-jidat kami
Kami berkahir dengan pembunuhan sadis yang engkau tutup tutupi dan engkau coba lupakan

Wahai kawanku..
Kami berfikir
Untuk siapa kita bekerja?
Untuk apa kita bekerja?
Kita punya pertempuran. Namun untuk apa pertempuran ini?

Wahai kawanku..
Kami bermimpi sebuah negeri impian
Sebuah negeri dimana tak ada penindasan dan kebencian
Semua orang sibuk dengan pembangunan negeri yang lebih baik.


Aku berharap kalimat "AYO KERJA!"
Slogan yang kau bangga kan,
Bukan propaganda pemerasan,
Bukan sebuah perintah

Namun adalah sebuah ajakan untuk pembangunan pertiwi yang lebih baik



Malang, Dies Natalis Universitas Negeri Malang
13 Oktober 2015


Minggu, 11 Oktober 2015

Orang diatas rata-rata

Kegalauan yang terjadi pasca pengumuman nilai Indeks Prestasi (IP) menjadi polemik tersendiri di kalangan mahasiswa. Terlebih lagi para aktivis kampus yang notabene adalah orang-orang luar biasa. Dikatakan luar biasa karena selain kuliah, mereka juga menyempatkan diri untuk berorganisasi. Bergabung pada suatu komunitas yang tentu membuat waktu dan kesehariannya tersita tidak seperti mahasiswa pada umumnya yang hanya berorientasi pada kuliah. Kuliah pulang kuliah pulang. Kami menyebutnya, kupu-kupu.

Sehingga menjadi sebuah kemafhuman jikalau para aktivis ini mengalami masalah manajemen waktu. Waktu adalah nilai.

Mereka di tuntut untuk menjadi superpower dimana kuliah dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore lalu dilanjutkan dengan rapat, diskusi, evaluasi keorganisasian sampai malam hari. Pulang ke kosan, mengulang pelajaran, lalu tidur. Nah sayangnya, poin terakhir ini yang biasanya jarang atau sulit sekali dilakukan oleh aktivis. Ketika pulang kekosan dan pemandangan langsung dihadapkan pada sesosok busa berselimut kain, kami menyebutnya kasur. Hasrat untuk segera melampiaskan kelelahan seharian langsung timbul. Tak jarang pada beberapa kejadian, sang aktivis tanpa menanggalkan jubah, kaos kaki, tas, langsung terjerambab diatas kasur. Sungguh menggenaskan. Mereka memperlakukan kasur dengan sangat tidak berperikekasuran. Tapi kami sangat memaklumi itu.

Rutinitas yang hampir stagnan, membuat kejenuhan tersendiri bagi aktivis. Waktu yang terasa sangat kurang. 24 jam dirasa belum cukup untuk mengakomodir segala kegiatan kesehariannya. Kalau secara holistik kami lihat bahwa perasaan kekurangan waktu tersebut adalah dampak dari manajemen waktu yang masih berantakan. Tidak sistemik. Tidak ada skala prioritas. Tidak ada tujuan yang jelas. harus kami mengatakan bahwa kebanyakan para aktivis memisahkan makna harfiah dari pada kuliah dan organisasi. Padahal, kuliah dan organisasi adalah suatu kesatuan yang saling mendukung.

Seyogyanya, mereka menjadikan organisasi sebagai wadah untuk menuangkan dan atau mengaplikasikan disiplin ilmu yang mereka dapat dari duduk seharian di kelas. Ngomong-ngomong soal keseharian dikelas, menjadi miris pula ketika fakta memperlihatkan bahwa aktivis sering tidak masuk perkuliahan. Sedikit lebih baik, aktivis yang rajin masuk perkuliahan, tapi tidak bisa fokus saat pelajaran dikarenakan terpecahnya konsentrasi mereka.

Merujuk pada kenyataan diatas, seorang aktivis memang bukan mahasiswa sembarangan. Mereka adalah sekumpulan orang yang berani mengambil resiko. Resiko untuk keluar dari zona aman. Zona aman hanya membuat mereka mandek. Stag. Tidak kreatif dan mati suri.

Zona aman hanya melemahkan pemikiran dan ruang pergerakan. mereka keluar dari zona aman masing-masing untuk membuat, menciptakan, melangsungkan perubahan. perubahan yang sakit. Sakit untuk dirinya sendiri. tapi baik untuk kemashlahatan umat. Perubahan yang mengorbankan akademik mereka, demi sebuah perjuangan dan idealisme mahasiswa.

Tapi, tetap. kami menegaskan bahwa, seorang aktivis harus cakap pula dalam akademiknya. Manajemen waktu harus mereka tegakkan. Keras terhadap diri sendiri. Disiplin tingkat tinggi. Karena aktivis bukan orang sembarangan maka perlakuannya terhadap diri sendiri pun tidak bisa sembarangan. Kami yakin kalian hanya belum terbiasa dengan keadaan ini. Ketika dunia kalian berubah 180 derajat menjadi tidak biasa. kalian harus menemukan rhytme permainan masing-masing. sekarang saatnya!

Ingat, kalian adalah orang di atas rata-rata. modal kalian sudah sangat kuat. kalian berkarakter. “going the extra miles”, kalian harus menampar wajah kalian sendiri untuk bangkit. Bangkit menyeimbangkan antara kuliah dan karir keorganisasian. bangkit untuk membuktikan bahwa air beriak itu tandanya dalam!! bangkit untuk menunjukkan bahwa kalian adalah agent of change yang sesungguhnya!

Renungkan, … jangan menyerah kawan. jangan menyerah hanya karena indeks prestasi. Jangan sampai perjuangan ini terhenti. Esok fajar kan sirna, bila patriot muda negeri ini, mati. Tak mampu membuat wajah pertiwi tersenyum kembali.

Sabtu, 27 Juni 2015

Surat Untuk Para Pemimpin Indonesia Dimasa Depan


Tulisan yang akan dijabarkan kemudian adalah tulisan dari bapak Handry Satriago, beliau adalah CEO dari GE Indonesia. 

Jakarta, 9 Juli 2012
Kepada para pemimpin Indonesia Masa depan
Di dunia yang semakin global

Saat saya menulis ini kepada Anda, dunia yang saya huni ini mampu membuat 112 buah mobil dalam 1 menit, menerbangkan orang non-stop dari Singapura ke New York dalam 18 jam, dan menghasilkan produk “Made in The World” seperti celana jeans yang saya pakai sekarang. Karena, walaupun saya beli di Bandung dan berlabelkan “Made in Indonesia”, celana ini melibatkan lebih dari 15 negara dalam  value chain pembuatannya.

Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang mampu mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0.23 detik untuk pencarian kata “leadership”, saya membayangkan keterbatasan mencari pengetahuan yang dihadapi ayah saya, saat mimpinya untuk sekolah sirna karena perang yang berkecamuk. Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak keterbatasannya dengan merantau dan berjibaku untuk survive di berbagai kota di Sumatera hingga akhirnya sampai di Jakarta, tidakkah dia 
takut dengan keterbatasannya?
Usianya baru 15 tahun saat itu, dan hidup tidak berjalan seperti yang dia inginkan.

Saya juga terkenang dengan peristiwa mengerikan yang saya hadapi sendiri pada tahun 1987, ketika tiba-tiba divonis menderita lymphoma non-hodkin- kanker kelenjar getah bening, yang tumbuh di medulla spinalis saya dan merusaknya sedemikian rupa sampai saya kehilangan kemampuan untuk berjalan. Bulan-bulan yang melelahkan karena harus berobat kesana-kemari, dan akhirnya berujung kepada keharusan menjalankan hidup dengan menggunakan kursin roda. Saya ingat betul betapa takutnya saya untuk menjalani hidup saat itu. Keterbatasaan menghadang di banyak hal.

Usia saya baru 17 tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh dari yang saya harapkan. Apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma menjadi tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus dilontarkan kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan terus mundur?
saya, dan mungkin juga ayah saya waktu itu, memulainya dengan menerima kenyataan. menerima bahwa jalan tidak lagi mulus, bahwa lapangan pertempuran saya jelek, dan amunisi saya tidak lengkap. “Reality bites” kata orang. Betul itu. tapi menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampu menyusun strategi baru. Menghindarinya atau lari darinya justru membuat kita terlena mengasihani diri kita terus-menerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk dapat melawan balik.

Kemudian saya mengumpulkan kembali puing-puing mimpi saya. Tidak! Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dillumpuhkan, bahkan dibunuh, tapi mimpi akan tetap hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan, tapi tidak akan hilang. Dengan usaha keras, kita bisa menyusunnya kembali dan ketika mimpi itu telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberikan cahaya terhadap pilihan jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya.

Dua puluh enam tahun menjalani kehidupan dengan kursi roda membuat saya semakin yakin bahwa Yang Maha Kuasa memang telah menciptakan kita untuk menjadi mahluk yang paling tinggi kemampuan survive nya di muka bumi ini. Kita diberikan rasa takut, yang merupakan mekanisme primitif yang dimiliki organisme untuk survive, yaitu keinginan untuk lari dari ancaman, atau.. melawannya! Ketikaa pilihannya adalah melawan, maka perangkat perang telah disiapkanNYA untuk kita. Perangkat perang itu terwujud dalam kemampuan bouncing back-daya pantul, yang jika digunakan mampu membuat kita memantul tinggi ketika kita dihempaskan ke tanah. Kitalah yang bisa membuat daya pantul itu bekerja. Jika kita tak ingin melawan, perangkat perang tersebut bahkan tidak akan hadir.

Berpuluh kali, atau beratus kali atau mungkin beribu kali saya diserang rasa takut ketika menjalani kehidupan dengan kursi roda ini. Ketika membuat pilihan kembali ke sekolah, ketika menyeret kaki untuk menaiki tangga bioskop agar bisa menemani wanita pujaan menonton, ketika memutuskan untuk kuliah, ketika menghadapi 4 lantai untuk bisa pratikum kuliah, ketika harus menjalani kemoterapi, ketika memulai bekerja, ketika naik pesawat, ketika melamar calon istri, ketika mulai bekerja di GE yang penuh dengan orang asing, ketika menerima tawaran untuk memimpin GE di Indonesia….. Saya takut. Tembok besar berdiri tegak, angkuh, dan ribuan panah berapi menghujani saya.

Namun seiring dengan rasa takut yang timbul tersebut, mimpi saya untuk dapat menjalankan dan menikmati hidup menerangi jalan yang ingin saya tempuh. Dan ketika perangkat perang-semangat untuk memantul, saya gunakan, saya seakan menjelma menjadi jenderal yang siap perang, yang didukung oleh ribuan pasukan-keluarga, teman, bahkan orang yang tak dikenal, yang tiba-tiba hadir karena mereka percaya terhadap keyakinan saya, Saya harus maju berperang, dengan keyakinan bahwa perperanganlah yang harus saya jalani, saya nikmati. Hasil perperangan sendiri tidaklah terlalu penting, karena kalaupun kalah, toh saya akan berperang lagi. Kalau mati, saya akan mengakhiri perang dengan senyum, karena saya tahu telah berjuang dengan sebaik-baiknya. Sang Pencipta lah yang pada akhirnya memilihkan hasil dari perjuangan kita.

Menjadi pemimpin bermula dari memimpin diri sendiri. Mewujudkan mimpi yang ingin dicapai. Tidak perlu membayar orang untuk menjadi pengikut. Jika mereka melihat anda dengan penuh keyakinan berani memimpin diri anda sendiri, mereka akan mengikuti dan membantu anda dengan tulus, serta percaya pada kepemimpinan anda.

Saat saya menulis surat ini kepada anda, dunia tempat saya hidup sekarang ini menghasilkan pendapatan kotor setahun $70 triliun. Sekitar 40% dari pendapatan dunia tersebut dihasilkan oleh 500 korporasi terbesar di dunia, dan tidak ada satupun yang berasal dari negara kita (133 dari Amerika Serikat, 79 dari China, 8 dari India). terdapat sekurangnya 136 negara yang berkompetisi di dunia ini untuk mendapatkan keuntungan terbanyak dari proses ekonomi global, dan daya saing Indonesia terukur pada ranking 46. Singkat kata, kita masih belum menjadi pemeran utama di panggung dunia yang tak behenti mengglobal.

Pekerjaan rumah anda sebagai pemimpin Indonesia tidaklah mudah. Tidak berarti, tembok besar dan ribuan anak panah api bisa menghentikan langka anda untuk berperang!


Handry Satriago

Sabtu, 13 Juni 2015

Uang

Pada postingan sebelumnya tentang hedonisme, saya menyinggung sedikit tentang sistem uang.  Saya bilang kalau sistem uang sangat jahat. Dan kali ini saya akan membuka dan membeberkan sedikit dari sistem uang yang saya bilang jahat itu.

Yang saya bahas disini merupakan pemikiran saya setelah membaca buku 'SATANIC FINANCE' buah karya Dr. Ahmad Riawan Amin. Saya merekomendasikan untuk merujuk dan membaca buku tersebut jika anda tertarik dan ingin tahu lebih dari apa yang saya tulis.

Baik, Mari kita mulai.

Uang.
Merupakan sesuatu yang tidak lepas dari hidup kita sehari-hari. Kita semua pasti sudah tahu segalanya tentang uang. Kertas ajaib yang kita temui setiap hari. Kita makan, pakai uang. Pakaian yang sekarang melekat di badan kita, dibeli memakai uang. Bahkan sekarang kita kencing pun pakai uang. Uang sudah menjadi bagian dari hidup kita. Bahkan pada zaman edan ini tak jarang orang banting tulang setengah mati lupa keluarga lupa waktu demi mendapatkan sesuatu yang kita sebut uang. Lebih keblinger lagi, ada orang yang sangat mendewa dewakan uang, tidak tabu lagi bagi kita sering melihat di media-media cetak maupun media elektronik bahwa harga diri seseorang bisa dibeli oleh uang.

Supaya saya mudah menjelaskan tentang sistem uang, mari saya gambarkan dengan sebuah cerita yang menarik.

***
Syahdan di suatu samudera terdapat dua pulau yang bertetangga. Sebut saja pulau Aya dan pulau Baya. Dipulau Aya, suku Sukus hidup sejahtera. Mereka dikaruniai daratan yang subur. Mereka hidup bercocok tanam. Pertanian mereka menghasilkan aneka sayuran dan buah-buahan tropis. Ikan dan sumber daya laut sangat melimpah. Tidak hanya itu, pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemercik air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan para pelancong dan wisatawan lokal maupun luar pulau.

Masyarakat Sukus dikenal memiliki peradaban yang cukup maju. Mereka beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka bekerja keras untuk mendapatkan logam mulia ini. Hampir semua anggota suku memiliki emas dan menyimpannya sebagai simbol harta kekayaan.

Selain sebagai simbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku mencetak koin emas, barter beralih dan diukur dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan lebih simpel

Meskipun begitu, mereka tidak mendewa-dewakan emas sebagai satu-satunya pencapaian. charge atau uang tambahan apapun!. Boleh dikata, mereka hidup rukun dan damai.
Kehidupan sosial mereka tampak lebih penting. Ini bisa dilihat dari cara mereka yang saling tolong menolong. Ketika anggota suku perlu membangun rumah baru karena rumah lama tersapu ombak, yang berarti menguras emas simpanannya, anggota-anggota suku lainnya dengan suka rela meminjamkan emas miliknya. Hebatnya, tanpa

Sementara pulau tetangganya, pulau Baya, didiami suku Tukus. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah atau ladang dan memelihara ternak. Sebagian lagi yang memiliki keterampilan khusus, memproduksi kerajinan tangan.

Dibandingkan dengan suku Sukus, mereka lebih sederhana. Mereka masih menggunakan sistem barter dalam transaksi keseharian. Yang menghasilkan padi menukar berasnya dengan kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang secara ekonomi, kesejahteraan mereka di bawah suku Sukus. Mereka memang kebanyakan hanya pekerja kasar. Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju seperti halnya suku Sukus. Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku Sukus. Mereka, apalagi para wanitanya, sangat sendang menerima koin emas sebagai jasa dari padi atau kerajinan tangan yang mereka hasilkan. Meskipun berbeda dalam hal kesejahteraan, ada satu persamaan menonjol antara suku Sukus dan Tukus. Mereka sama-sama hidup damai, rukun, dan saling tolong-menolong. Mereka sering bersilaturahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang.

Sampai akhirnya datang tamu istimewa ke suku Sukus. Berpenampilan perlente, dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh di pulau Aya. Gago dan Sago, begitu mereka mengenalkan diri saat dijamu oleh Saka, pimpinan suku Sukus. Kedua tamu ini disambut dengan suka cita. Saka dan para pembantunya sangat terkesan dengan kisah Gago dan Sago yang mengaku sudah melanglang buana. Sebagai bukti, kedua orang asing ini lalu memamerkan koin emas asing yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat perlawatan.

Satu hal lagi -dan paling menarik bagi Saka dan anggota suku lainnya- adalah kertas yang dinyatakan sebagai uang. Gago dan Sago lalu memperkenalkan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien ketimbang emas yang sehari-hari mereka pakai. Itulah kenapa uang kertas ini sudah dipakai di negara-negara yang jauh lebih maju dibandingkan dengan tempat mereka tinggal. Gago dan Sago mulai mendapat respons positif semakin bergairah menjelaskan uang kertas ini kepada sang tuan rumah. lalu, mereka memperkenalkan mesin pencetak uang.

"Gambar Anda nanti akan terpampang dalam lembar uang kertas ini," Gago menunjuk uang kertas sembari menyunggingkan senyum ke arah Saka.

"Benarkah?" sela Saka berbinar. Dalam hari Saka girang bukan kepalang. Seumur hidupnya, tidak ada orang yang memberikan penghormatan sebagaimana dua tamu istimwanya.

Saka berfikir kalau uang kertas bergambarkan dirinya diterbitkan, pasti dirinya akan menjadi manusia terkenal hingga daratan yang pernah disinggahi para tamu.

Dan untuk kepentingan itu, sebuah institusi bernama bank perlu didirikan. Bank akan menyimpan deposit koin emas mereka yang menganggur. Lalu uang deposan ini bisa dipinjamkan kepada anggota suku lainnya yang memerlukan. Dengan demikian, kesannya semua sumber daya yang ada menjadi optimal karena dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif.

Suku Sukus yang terkenal suka membantu, sangat impresif dengan ide itu. Mereka pikir, lembaga ini sangat luar biasa karena bisa melanjutkan tradisi mereka untuk membantu orang lain. Jadilah ide itu diamini dan dilanjutkan dengan mendirikan bangunan yang difungsikan sebagai bank yang pertama di pulau Aya.

Upacara pembukaan perdana bank Aya sangat meriah. Orang sepulau itu jadi satu merayakan hari yang bersejarah. Sebagian besar dari mereka sudah membawa koin-koin emas yang selama ini hanya disimpan di bawah bantal. Setiap satu koin emas yang mereka simpan, mereka mendapatkan ganti uang kertas dengan jaminan bila sewaktu-waktu mereka menghendaki, mereka bisa menukarkan kembali uang kertas yang saat ini mereka terima dengan koin emas yang pernah mereka simpan.

Hampir semua anggota suku Sukus menyimpan koin emas mereka di bank Aya. Sejumlah 100.000 lembar uang kertas disarahkan, yang berarti bank Aya -yang dimotori Gago dan Sago- menerima 100.000 koin emas. Tak terasa, akhirnya penduduk negeri pulau Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan dengan menggunakan uang kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauh lebih simpel dan nyaman.

Praktis semakin jarang orang menggunakan koin emas dalam transaksi sehari-hari. Sampai akhirnya uang kertas menjadi mata uang dominan. Kenapa? karena selain memudahkan transaksi, mereka juga dengan mudah menukar uang kertas mereka dengan koin emas jika mereka memerlukan.

Perkembangan ini ternyata menjadi berita dimana-mana. Suku Tukus yang mendiami pulau Baya, diam-diam memuji dan ingin sekali praktik yang sama juga diterapkan di pulau mereka. Bayangkan, dari semula melakukan jual beli dengan cara barter, tiba-tiba ada sistem super canggih yang bisa membantu mereka melakukan transaksi dengan sangat mudah dan efisien.

Tak sabar, mereka mengutus duta menemui Gago dan Sago. Mereka meminta agar sistem yang mereka bawa juga bisa diterapkan di Pulau Baya. Gago menyanggupi. Dia meminta Sago untuk membuka cabang Bank Aya di Pulau Baya dan mengangkat Sago sebagai manajernya. Hanya bedanya, di sini hanya sedikit penduduknya yang memiliki koin emas. "Anda tidak perlu kecil hati", kata Sago menghibur."Tanpa koin emas pun anda bisa mengenyam kenikmatan sebagaimana tetangga pulau Anda", dia bermanis-manis menerangkan. Tentu saja keterangan ini disambut gembira oleh penduduk Pulau Baya.

Begitulah. Mulai Sago membagikan uang kertas. Ada 100 kepala keluarga di pulau itu. Setiap kepala keluarga diberikan 1000 lembar uang. Jadi total uang yang tersirkulasi di pulau itu mencapai 100.000. "Karena anda tidak menyimpan koin emas seperti halnya penduduk pulau seberang, sebagai gantinya. Anda bisa menggunakan uang yang telah saya bagian."

Apa yang dikatakan sago itu disambut dengan senang. Tepuk tangan riuh membahana. Mereka bersyukur sebentar lagi negeri mereka tidak akan sekolot dan seprimitif tempo hari. Namun, kemeriahan itu sempat hening ketika Sago menyela,"Harap diingat. Uang yang saya bagikan tadi tidak gratis. Ini adalah pinjaman. Nanti setalah setahun dari saat ini, Anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan."

"Kenapa harus ada tambahan 100? Kenapa tidak mengembalikan sejumlah yang kami pinjam?" seorang pemuka suku Tukus menyela.

"betul Anda memang hanya meminjam 1000. Yang 100 itu adalah untuk membayar jasa yang kami sediakan", Sago dengan senyum lepas menjelaskan.

Meski ada yang masih mengganjal, penjelasan Sago cukup tepat untuk membungkam naluri kritis warga Tukus. Itu terlihat dari tak surutnya minat warga Tukus untuk mengambil tawaran Sago. paling tidak, mereka bisa merasakan mudahnya bertransaksi dengan uang kertas. Dan yang lebih penting lagi, menikmati status sebagai warga dunia baru. Modern dan prestisius.

Setelah sekian lama, dari pengamatan Gago, di pulau Aya, rata-rata hanya sekitar 10 persen uang kertas yang ditukarkan ke koin emas pada setiap waktu. Sisanya, 90 persen tetap berada di kotak penyimpanan di Bank Aya.

Hal tersebut menjadi celah Gago untuk memunculkan ide yang sangat brilian. Gago mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung hingga 900.000. Dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah jumlah uang kertas yang telah dibagikan sebelumnya totalnya 1.000.000. Kalau ada orang yang datang hendak menukarkan uang kertas ini, berdasarkan pengalaman yang sudah - sudah hanya 10 persen saja. Nah, kalau ini yang terjadi, bukankah ia menyimpan 100.000 koin emas, yang tidak lain adalah koin yang telah disetor oleh seluruh penduduk Sukus? Kalau hitung-hitungan pahit itu benar - benar terjadi, bukankah cadangan koin emas yang diperlukan sudah cukup?

Fantastic! Creating Money from nothing!
Menciptakan uang dari kekosongan. Begitulah akal bulus Gago bergerak. Ia pinjamkan 900.000 uang kertas yang baru dicetaknya kepada warga Sukus yang baru dicetaknya kepada warga Sukus yang memerlukan. Kalau di pulau Baya, sago mengutip tambahan ekstra sebesar 10 persen dari pokok, nah Gago meningkatkan 15 persen setiap pinjaman. Artinya kalau seseorang meminjam 1000 lembar uang kertas, di akhir tahun ia harus mengembalikan 1150 uang kertas, dimana 150-nya adalah charge dari layanan yang diberikan.

Hari pun berganti. Bulan berjalan begitu cepat. Tak terasa setahun pun lewat. Apa yang terjadi? Pelan tapi pasti, penduduk pulau Aya merasakan harga-harga kebutuhan barang dan jasa mereka naik. Mereka tidak tahu apa penyebabnya. Banyak di antara orang meminjam uang dari Gago mengalami gagal bayar. Mereka bukan orang pemalas atau penganggur. Tapi, meski mereka telah bekerja keras, mereka masih kesulitan melunasi utang berikut bunganya. Dan mereka memang tidak akan pernah bisa. Bahkan ketika mereka menjadikan 24 jam untuk bekerja. Lihatlah, uang yang dipinjamkan 900.000 bila ditambah bunga 15 persen, berarti senilai 135.000 atau jumlah total mencapai 1.135.000. Padahal, jumlah uang total yang beredar hanya 1.000.000 (100.000 diberikan sebagai ganti 100.000 keping koin emas ditambah uang baru 900.000 yang dicetak Gago).

Apa jadinya? Penduduk yang dulunya mempunyai watak bisnis kekeluargaan menjadi bisnis yang time is money.
individual dan kompetitif. Kehidupan sosial mereka yang harmonis, penuh toleransi dan tolong menolong perlahan luntur. Masing-masing kepala keluarga harus bekerja keras demi mengejar uang untuk melunasi kewajibannya. Sehingga ketika ada ombak besar menyapu sebagian rumah penduduk, kebiasaan mereka untuk saling bantu luntur. Prinsip saling membantu berubah menjadi

Membantu orang boleh, tapi harus ada kompensasinya :uang.

Hal yang sama pun dialami oleh suku Tukus. Awalnya mereka tidak menyadari. Namun, Lambat laun mereka merasakan perubahan. Kebutuhan pokok yang dulunya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau sebaliknya, kini mulai sedikit bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa terasa harga-harga terus merambat naik. Padahal mereka telah membanting tulang dan bekerja lebih keras. Kerjasama antar warga yang semula menjadi tradisi, lama kelamaan juga mulai luntur. Mereka menjadi egois, diburu kebutuhan masing-masing. Toh di akhir tahun tidak semua bisa membayar kewajibannya atau gagal bayar.

Kerakusan kini menjadi ideologi.

Gago dan Sago memang sangat impresif.

Kepada para penunggak sebagian ada yang dipaksa membayar. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak dan maupun harta benda lainnya pun segera berpindah tuan kepada Gago dan Sago.

Setelah beberapa tahun berselang, Gago dan Sago yang semula datang ke Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang, kini telah menjadi pemilik hampir semua kekayaan di dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi dan properti. Lambat laun, dengan uang, mereka memperoleh kekuasaan baru : menguasai politik negeri itu.

Sementara, di pulau tersebut kemiskinan tiba-tiba seperti menjadi endemik yang terus menyebar cepat. mereka kehilangan waktu untuk saudara dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan. Lebih parah lagi, mereka semakin tidak perhatian satu sama lain

Kejahatan yang semula hanyalah cerita yang sering mereka dengar dari negara antah berantah, kini menghampiri. Prostitusi yang semula begitu tabu, sekarang terjadi di depan hidung mereka. Semua budaya yang datang dari Gago dan Sago, dianggap superior. Budaya lokal pun lambat laun punah. Gago dan Sago telah menguasai semua, tak ada yang tersisa: ekonomi, budaya, kekuasaan, dan keadilan yang bisa mereka beli melalui uang

***

Nah, cerita diatas merupakan ilustrasi kecil dari sistem uang yang saya maksud sangat jahat. Jika anda bisa menangkap makna dari cerita diatas, terdapat tiga elemen mengenai uang yang dimainkan oleh Gago dan Sago untuk memperdaya dan menguasai seluruh sumber daya, yaitu fiat money, fractional reserve requrement, dan interest atau dikenal dengan The Three Pilars Of Evil atau tiga pilar setan. Pada tulisan saya ini, saya akan membahas sedikit ketiga pilar setan tersebut.

Yang pertama adalah Fiat money. Yang saya maksud  Fiat Money adalah mata uang yang di gantikan oleh kertas. Uang kertas adalah kertas yang dinilai menjadi berharga dan secara sah berfungsi sebagai alat pembayaran (legal tender) barang, jasa, ataupun hutang karena diterbitkan oleh pemerintah yang diakui. Jadi ketika pemerintahan tersebut kolaps, maka uang tersebut menjadi tidak berharga. Contohnya negara A menerbitkan uang dengan nominal 100 dolar. Untuk setiap lembar dibutuhkan biaya produksi senilai 10 sen. Bila tiba-tiba pemerintahan A kolaps, maka uang tersebut menjadi kertas yang tidak berarti. Kenapa? karena orang asing tidak mau menerima uang yang tak lagi berharga.

Dengan kata lain, uang kertas tidak bisa diandalkan sebagai alat penyimpan nilai. Karena ia tidak memiliki nilai intrinsik sebagaimana logam mulia. 

Coba bayangkan, ketika penciptaan uang kertas melebihi jumlah barang dan jasa atau output riil yang bisa diproduksi, maka inflasi terjadi. Harga-harga barang dan jasa mengalami tren naik dari waktu  ke waktu. Mereka yang hidupnya memiliki sumber penghasilan tetap seperti buruh dan pegawai paling terpukul oleh dampak yang ditimbulkan lantaran gaji yang mereka terima, nilai riilnya sudah terpotong sekian persen oleh inflasi. Apa bahayanya dari eksisnya uang ini? seperti kisah Sukus dan Tukus, Gago dan Sago yang bermodal kolor (cuma mesin cetak uang) bisa menguasai segala-galanya.

Kedua adalah Fractional Reserve Requirement. Bank sentral sebuah negara mensyaratkan setiap bank yang beroperasi di wilayah otoritasnya untuk menyediakan atau menyimpan sebagian kecil dana yang disetorkan deposan sebagai cadangan. Inilah yang disebut Fractional Reserve Requirement atau biasa disingkat FRR

Jika di contohkan seperti ini, para deposan menyetorkan uang ke bank. Dari pengamatan bank, kebanyakan deposan tidak mencairkan seluruh uangnya, hanya sekitar 10 persen dari simpanannya saja yang sering di ambil. Jadi, ketika deposan menyetorkan uang sebesar 1.000.000 ke bank, dan ketika deposan ingin mengambil uangnya, hanya sekitar 100.000 dia sering mengambil uangnya. Tidak seutuhnya 1.000.000.  Bank masih mempunyai sisa 900.000. Apa yang dilakukan oleh sisanya? bisa diutangkan kepada orang-orang lain. Inilah celah yang berbahaya.

Creating money from nothing !
Bayangkan, berapa banyak uang yang bisa dicetak oleh sistem FRR ini!

Yang ketiga adalah Interest. Interest adalah bunga. Sebagian menyebutnya biaya servis yang dikenakan bank untuk pinjaman atau kredit yang diberikan kepada nasabahnya. Jika bank menetapkan bunga sebesar 10 persen, maka artinya, jika anda meminjam dari bank sebesar 1.000.000, maka anda harus menggantinya 1.100.000. Ini yang membuat sering keblinger. Seperti yang telah dikisahkan di kisah Sukus dan Tukus, Bagaimana mungkin hutang dilunasi ketika jumlah hutang dan jumlah uang yang beredar lebih besar jumlah hutang. Bayangkan jumlah uang yang beredar adalah 1000 lembar, sedangkan hutang yang harus dibayar 1100 lembar. Inilah sesuatu yang keji, dan bahkan agama-agama samawi dalam kitabnya telah melarang keras adanya bunga dalam pinjaman. Inilah salah satu faktor yang mempengaruhi banyak orang yang gagal bayar.

Selain itu ada tiga konsekuensi utama berlakunya bunga. Pertama, bunga akan terus menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, meskipun kondisi ekonomi aktual sudah mencapai titik jenuh atau konstan. Kedua, bunga mendorong persaingan antar para pemain dalam sebuah ekonomi. Ketiga, bunga cenderung memposisikan kesejahteraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas.

Bagaimana ketika ketiga pilar ini bertemu?
Saya biarkan otak anda berfikir liar dan membayangkan bagaimana jadinya.