Senin, 10 April 2017

Semar dan Flat Earth

Alkisah dikerajaan Amartha terdapat 4 sekawan yang biasanya bersantai sore di pelataran warung nyai Dasima. Mereka biasa berkelakar sembari memesan 3 teh manis dan 1 kopi hitam sebagai teman minum. 4 sekawan tersebut yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong atau biasa orang-orang desa menyebut mereka dengan Punakawan.

Biasa Punakawan menghabiskan waktu sore mereka dengan sekadar mengobrol, bercanda, atau sampai berdiskusi memunculkan gagasan baru yang mengembangkan pola pikir mereka dalam melihat sesuatu, memperlebar sudut perspektif mereka dalam melihat masalah yang nyata, serta mengasah akal pikir dan hati mereka dalam menyikapi sebuah fenomena masyarakat yang terjadi.

Semar, yang paling berpengalaman diantara mereka, kadang mengajarkan sesuatu hal baru bagi kawan-kawan yang lainnya. Sesuatu hal yang menambah pengetahuan mereka dan menjadi ilmu yang berguna bagi kehidupan mereka. Lama kelamaan, Semar dianggap guru mereka yang bijaksana, yang dapat memberikan ilmu baru, pencerahan ketika mereka menghadapi masalah, dan orang yang dimana dapat memberikan gagasan yang tepat untuk mereka. Ketika itu pula secara otomatis, proses pendidikan dan pembelajaran terjadi di warung tersebut. Sore mereka sekarang tidak hanya berkelakar saja, namun mereka haus akan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Semar. Warung nyai Dasima kini, tidak hanya sebagai sarana kumpul-kumpul, namun sudah bergeser fungsinya sebagai ruang pendidikan mereka.

Setelah ilmu yang didapat dari Semar, juga ketajaman berfikir yang sudah mereka asah lewat proses pendidikan tersebut. Mereka mengamalkan ilmu yang mereka pelajari untuk kemaslahatan orang banyak dan mampu tidak hanya sebatas teori namun juga perlakuan dalam menangani masalah di masyarakat. Tak heran orang-orang desa pun menganggap mereka manusia setengah dewa. Melihat Punakawan yang berkembang, orang-orang desa mulai mengikuti jejak mereka. Setiap sore selepas bekerja di sawah mereka datang ke warung nyai Dasima untuk mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat dari Semar. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, orang yang datang semakin bertambah banyak.

Hal ini menimbulkan keresahan bagi raja Amartha yang ketika itu dipimpin oleh Sengkuni. Seorang raja yang licik dan menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri dan kerajaannya. Beliau tidak senang karena kesadaran kolektif mulai terbentuk di warung itu. Orang-orang tidak lagi berfikir mengenai hidup tentram dengan anak banyak. Namun sudah mulai berfikir mengenai tatanan kerajaan, mengkritisi kebijakan kerajaan yang salah, dan mulai mengendus sifat tidak baik dari raja Sengkuni. Namun raja Sengkuni, tidak bisa serta merta membubarkan perkumpulan tersebut karena tidak ada alasan rasional dan kuat untuk itu. Bisa-bisa pembubaran malah memperkuat argument bahwa ada yang salah dari kepemimpinan raja Sengkuni.

Di suatu sore, datang Ranto Gudhel ke perkumpulan tersebut dengan tujuan melihat apa yang guru Semar ajarkan. Ranto Gudhel adalah orang desa yang telah kembali dari kota. Dan kala itu, Semar sedang menerangkan tentang fakta bahwa bumi itu berbentuk bulat. Ranto Gudhel yang sombong karena telah datang dari kota serta akrab dengan teknologi di perkotaan, memakai internet untuk menemukan 1001 alasan tanpa dasar membantah fakta yang telah disampaikan Semar. Semar yang kikuk dengan bantahan tersebut tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan Ranto Gudhel menerangkan sesuatu hal yang tak lazim namun dapat diterima orang-orang di warung tersebut yaitu bahwa BUMI ITU DATAR. Disitu pula Ranto Gudhel mengenalkan sebuah teknologi yang disebut internet. Sebuah teknologi yang dapat menghubungkan antar manusia dan memperoleh informasi secara cepat.

Kabar tersebut terdengar ke telinga Sengkuni di istana, dan beliau senang bukan kepalang. Dengan cepat, beliau telah memperoleh cara bagaimana memanipulasi orang-orang yang ada di warung tersebut. Keesokan harinya, pihak kerajaan memasang WiFi di warung nyai Dasima dan membagikan alat untuk mengakses internet dari WiFi tersebut kepada orang-orang desa yang belajar sore disana. Pemasangan tersebut dengan dalih bahwa kerajaan berbaik hati untuk menyediakan sumber belajar yang luas. Tidak hanya satu sumber saja (guru Semar). I’tikad “baik” raja Sengkuni pun disambut hangat oleh orang-orang desa disana. Dan mulai detik itu, pembelajaran memakai teknologi yang namanya internet.

Keesokan harinya, pembelajaran sore itupun tidak seperti biasanya. Banyak orang-orang desa yang tidak sependapat dengan Semar karena mendapat informasi bebas dari internet. Pembelajaran seakan semrawut, dan orang-orang saling membela kebenarannya masing-masing. Pembelajaran hari itu, merupakan titik balik dimana sosok Semar sebagai guru telah digantikan oleh teknologi internet.

Lambat laun, orang-orang desa datang ke warung Nyai Dasima bukan untuk belajar lewat Semar lagi. Namun, memanfaatkan WiFi yang ada disana untuk memperoleh hal-hal menarik dari internet. Mereka merasa selama ada teknologi ini, semua masalah bisa dicari dan dipecahkan.

Kemudian, orang-orang desa mulai ketergantungan dengan teknologi ini. Tidak hanya sore saja, warung nyai Dasima pun penuh di hari-hari kerja. Tidak lain dan tidak bukan, untuk memanfaatkan WiFi di warung tersebut.

Ketergantungan ini merupakan harapan yang jauh-jauh hari sudah dinanti oleh raja Sengkuni. Beliau mulai melangkah ke tahap selanjutnya. Kerajaan dibawah perintah raja Sengkuni mulai meng-upgrade teknologi WiFi tersebut terutama pada jarak jangkaunya, sehingga orang-orang dapat menikmati teknologi WiFi dimanapun tanpa harus datang ke warung nyai Dasima. Dan ditambahkan regulasi baru bahwa alih – alih WiFi tersebut membutuhkan biaya perawatan dan perbaikan, maka kerajaan mulai menarik uang atas jasa WiFi yang ada di warung nyai Dasima. Regulasi akses nya pun dibatasi oleh kerajaan. Hanya situs-situs hiburan yang tidak bermakna dan situs informasi yang baik untuk kerajaan saja yang dapat diakses lewat internet entah itu benar atau tidak benar. Serta peraturan-peraturan lainnya yang bisa diatur sedemikian rupa oleh kerajaan atas kuasa WiFi tersebut.

Dan pada akhirnya, rencana jahat raja Sengkuni berhasil. Saat ini orang-orang desa tidak memikirkan lagi mengenai kesadaran kolektif, namun telah dibuai dengan dunia angan-angan hiburan di internet. Otak mereka sudah dipenuhi dan dijejali informasi dunia buaian. Dan kendali kontrolnya dipegang oleh sang raja. Tidak ada yang berkutik dan bisa melawan karena sistemnya begitu kompleks. Lalu, bagaimana dengan Semar dan Punakawannya? Masih tetap berkelakar namun jarang di warung nyai Dasima melainkan di grup whatsapp punakawan yang beranggotakan 4 orang. Meskipun jarang, mereka sesekali berkumpul disana. Perbedaannya mereka tidak bercanda tawa dan menikmati waktu sore dengan berbincang. Tapi, Petruk sibuk dengan pesan whatsappnya yang menumpuk, Gareng terpaku melihat hiburan video di YouTube, Bagong, sibuk memfoto teh, kopi, dan singkong untuk di post di Instagram. Semar? Mau tak mau diapun ikut ber euphoria dengan snapgramnya. Selamat!