Sabtu, 13 Juni 2015

Uang

Pada postingan sebelumnya tentang hedonisme, saya menyinggung sedikit tentang sistem uang.  Saya bilang kalau sistem uang sangat jahat. Dan kali ini saya akan membuka dan membeberkan sedikit dari sistem uang yang saya bilang jahat itu.

Yang saya bahas disini merupakan pemikiran saya setelah membaca buku 'SATANIC FINANCE' buah karya Dr. Ahmad Riawan Amin. Saya merekomendasikan untuk merujuk dan membaca buku tersebut jika anda tertarik dan ingin tahu lebih dari apa yang saya tulis.

Baik, Mari kita mulai.

Uang.
Merupakan sesuatu yang tidak lepas dari hidup kita sehari-hari. Kita semua pasti sudah tahu segalanya tentang uang. Kertas ajaib yang kita temui setiap hari. Kita makan, pakai uang. Pakaian yang sekarang melekat di badan kita, dibeli memakai uang. Bahkan sekarang kita kencing pun pakai uang. Uang sudah menjadi bagian dari hidup kita. Bahkan pada zaman edan ini tak jarang orang banting tulang setengah mati lupa keluarga lupa waktu demi mendapatkan sesuatu yang kita sebut uang. Lebih keblinger lagi, ada orang yang sangat mendewa dewakan uang, tidak tabu lagi bagi kita sering melihat di media-media cetak maupun media elektronik bahwa harga diri seseorang bisa dibeli oleh uang.

Supaya saya mudah menjelaskan tentang sistem uang, mari saya gambarkan dengan sebuah cerita yang menarik.

***
Syahdan di suatu samudera terdapat dua pulau yang bertetangga. Sebut saja pulau Aya dan pulau Baya. Dipulau Aya, suku Sukus hidup sejahtera. Mereka dikaruniai daratan yang subur. Mereka hidup bercocok tanam. Pertanian mereka menghasilkan aneka sayuran dan buah-buahan tropis. Ikan dan sumber daya laut sangat melimpah. Tidak hanya itu, pulau Aya terkenal dengan panoramanya yang indah. Gemercik air terjun bisa ditemui di banyak tempat. Sungai-sungainya yang jernih juga menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran bila pulau ini menjadi tempat tujuan para pelancong dan wisatawan lokal maupun luar pulau.

Masyarakat Sukus dikenal memiliki peradaban yang cukup maju. Mereka beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka bekerja keras untuk mendapatkan logam mulia ini. Hampir semua anggota suku memiliki emas dan menyimpannya sebagai simbol harta kekayaan.

Selain sebagai simbol peradaban, emas juga berfungsi sebagai alat transaksi. Sejak Saka, sang ketua suku mencetak koin emas, barter beralih dan diukur dengan emas. Berdagang pun menjadi lebih mudah dan lebih simpel

Meskipun begitu, mereka tidak mendewa-dewakan emas sebagai satu-satunya pencapaian. charge atau uang tambahan apapun!. Boleh dikata, mereka hidup rukun dan damai.
Kehidupan sosial mereka tampak lebih penting. Ini bisa dilihat dari cara mereka yang saling tolong menolong. Ketika anggota suku perlu membangun rumah baru karena rumah lama tersapu ombak, yang berarti menguras emas simpanannya, anggota-anggota suku lainnya dengan suka rela meminjamkan emas miliknya. Hebatnya, tanpa

Sementara pulau tetangganya, pulau Baya, didiami suku Tukus. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah atau ladang dan memelihara ternak. Sebagian lagi yang memiliki keterampilan khusus, memproduksi kerajinan tangan.

Dibandingkan dengan suku Sukus, mereka lebih sederhana. Mereka masih menggunakan sistem barter dalam transaksi keseharian. Yang menghasilkan padi menukar berasnya dengan kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang secara ekonomi, kesejahteraan mereka di bawah suku Sukus. Mereka memang kebanyakan hanya pekerja kasar. Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju seperti halnya suku Sukus. Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku Sukus. Mereka, apalagi para wanitanya, sangat sendang menerima koin emas sebagai jasa dari padi atau kerajinan tangan yang mereka hasilkan. Meskipun berbeda dalam hal kesejahteraan, ada satu persamaan menonjol antara suku Sukus dan Tukus. Mereka sama-sama hidup damai, rukun, dan saling tolong-menolong. Mereka sering bersilaturahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang.

Sampai akhirnya datang tamu istimewa ke suku Sukus. Berpenampilan perlente, dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh di pulau Aya. Gago dan Sago, begitu mereka mengenalkan diri saat dijamu oleh Saka, pimpinan suku Sukus. Kedua tamu ini disambut dengan suka cita. Saka dan para pembantunya sangat terkesan dengan kisah Gago dan Sago yang mengaku sudah melanglang buana. Sebagai bukti, kedua orang asing ini lalu memamerkan koin emas asing yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat perlawatan.

Satu hal lagi -dan paling menarik bagi Saka dan anggota suku lainnya- adalah kertas yang dinyatakan sebagai uang. Gago dan Sago lalu memperkenalkan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien ketimbang emas yang sehari-hari mereka pakai. Itulah kenapa uang kertas ini sudah dipakai di negara-negara yang jauh lebih maju dibandingkan dengan tempat mereka tinggal. Gago dan Sago mulai mendapat respons positif semakin bergairah menjelaskan uang kertas ini kepada sang tuan rumah. lalu, mereka memperkenalkan mesin pencetak uang.

"Gambar Anda nanti akan terpampang dalam lembar uang kertas ini," Gago menunjuk uang kertas sembari menyunggingkan senyum ke arah Saka.

"Benarkah?" sela Saka berbinar. Dalam hari Saka girang bukan kepalang. Seumur hidupnya, tidak ada orang yang memberikan penghormatan sebagaimana dua tamu istimwanya.

Saka berfikir kalau uang kertas bergambarkan dirinya diterbitkan, pasti dirinya akan menjadi manusia terkenal hingga daratan yang pernah disinggahi para tamu.

Dan untuk kepentingan itu, sebuah institusi bernama bank perlu didirikan. Bank akan menyimpan deposit koin emas mereka yang menganggur. Lalu uang deposan ini bisa dipinjamkan kepada anggota suku lainnya yang memerlukan. Dengan demikian, kesannya semua sumber daya yang ada menjadi optimal karena dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif.

Suku Sukus yang terkenal suka membantu, sangat impresif dengan ide itu. Mereka pikir, lembaga ini sangat luar biasa karena bisa melanjutkan tradisi mereka untuk membantu orang lain. Jadilah ide itu diamini dan dilanjutkan dengan mendirikan bangunan yang difungsikan sebagai bank yang pertama di pulau Aya.

Upacara pembukaan perdana bank Aya sangat meriah. Orang sepulau itu jadi satu merayakan hari yang bersejarah. Sebagian besar dari mereka sudah membawa koin-koin emas yang selama ini hanya disimpan di bawah bantal. Setiap satu koin emas yang mereka simpan, mereka mendapatkan ganti uang kertas dengan jaminan bila sewaktu-waktu mereka menghendaki, mereka bisa menukarkan kembali uang kertas yang saat ini mereka terima dengan koin emas yang pernah mereka simpan.

Hampir semua anggota suku Sukus menyimpan koin emas mereka di bank Aya. Sejumlah 100.000 lembar uang kertas disarahkan, yang berarti bank Aya -yang dimotori Gago dan Sago- menerima 100.000 koin emas. Tak terasa, akhirnya penduduk negeri pulau Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan dengan menggunakan uang kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauh lebih simpel dan nyaman.

Praktis semakin jarang orang menggunakan koin emas dalam transaksi sehari-hari. Sampai akhirnya uang kertas menjadi mata uang dominan. Kenapa? karena selain memudahkan transaksi, mereka juga dengan mudah menukar uang kertas mereka dengan koin emas jika mereka memerlukan.

Perkembangan ini ternyata menjadi berita dimana-mana. Suku Tukus yang mendiami pulau Baya, diam-diam memuji dan ingin sekali praktik yang sama juga diterapkan di pulau mereka. Bayangkan, dari semula melakukan jual beli dengan cara barter, tiba-tiba ada sistem super canggih yang bisa membantu mereka melakukan transaksi dengan sangat mudah dan efisien.

Tak sabar, mereka mengutus duta menemui Gago dan Sago. Mereka meminta agar sistem yang mereka bawa juga bisa diterapkan di Pulau Baya. Gago menyanggupi. Dia meminta Sago untuk membuka cabang Bank Aya di Pulau Baya dan mengangkat Sago sebagai manajernya. Hanya bedanya, di sini hanya sedikit penduduknya yang memiliki koin emas. "Anda tidak perlu kecil hati", kata Sago menghibur."Tanpa koin emas pun anda bisa mengenyam kenikmatan sebagaimana tetangga pulau Anda", dia bermanis-manis menerangkan. Tentu saja keterangan ini disambut gembira oleh penduduk Pulau Baya.

Begitulah. Mulai Sago membagikan uang kertas. Ada 100 kepala keluarga di pulau itu. Setiap kepala keluarga diberikan 1000 lembar uang. Jadi total uang yang tersirkulasi di pulau itu mencapai 100.000. "Karena anda tidak menyimpan koin emas seperti halnya penduduk pulau seberang, sebagai gantinya. Anda bisa menggunakan uang yang telah saya bagian."

Apa yang dikatakan sago itu disambut dengan senang. Tepuk tangan riuh membahana. Mereka bersyukur sebentar lagi negeri mereka tidak akan sekolot dan seprimitif tempo hari. Namun, kemeriahan itu sempat hening ketika Sago menyela,"Harap diingat. Uang yang saya bagikan tadi tidak gratis. Ini adalah pinjaman. Nanti setalah setahun dari saat ini, Anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan."

"Kenapa harus ada tambahan 100? Kenapa tidak mengembalikan sejumlah yang kami pinjam?" seorang pemuka suku Tukus menyela.

"betul Anda memang hanya meminjam 1000. Yang 100 itu adalah untuk membayar jasa yang kami sediakan", Sago dengan senyum lepas menjelaskan.

Meski ada yang masih mengganjal, penjelasan Sago cukup tepat untuk membungkam naluri kritis warga Tukus. Itu terlihat dari tak surutnya minat warga Tukus untuk mengambil tawaran Sago. paling tidak, mereka bisa merasakan mudahnya bertransaksi dengan uang kertas. Dan yang lebih penting lagi, menikmati status sebagai warga dunia baru. Modern dan prestisius.

Setelah sekian lama, dari pengamatan Gago, di pulau Aya, rata-rata hanya sekitar 10 persen uang kertas yang ditukarkan ke koin emas pada setiap waktu. Sisanya, 90 persen tetap berada di kotak penyimpanan di Bank Aya.

Hal tersebut menjadi celah Gago untuk memunculkan ide yang sangat brilian. Gago mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung-tanggung hingga 900.000. Dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah jumlah uang kertas yang telah dibagikan sebelumnya totalnya 1.000.000. Kalau ada orang yang datang hendak menukarkan uang kertas ini, berdasarkan pengalaman yang sudah - sudah hanya 10 persen saja. Nah, kalau ini yang terjadi, bukankah ia menyimpan 100.000 koin emas, yang tidak lain adalah koin yang telah disetor oleh seluruh penduduk Sukus? Kalau hitung-hitungan pahit itu benar - benar terjadi, bukankah cadangan koin emas yang diperlukan sudah cukup?

Fantastic! Creating Money from nothing!
Menciptakan uang dari kekosongan. Begitulah akal bulus Gago bergerak. Ia pinjamkan 900.000 uang kertas yang baru dicetaknya kepada warga Sukus yang baru dicetaknya kepada warga Sukus yang memerlukan. Kalau di pulau Baya, sago mengutip tambahan ekstra sebesar 10 persen dari pokok, nah Gago meningkatkan 15 persen setiap pinjaman. Artinya kalau seseorang meminjam 1000 lembar uang kertas, di akhir tahun ia harus mengembalikan 1150 uang kertas, dimana 150-nya adalah charge dari layanan yang diberikan.

Hari pun berganti. Bulan berjalan begitu cepat. Tak terasa setahun pun lewat. Apa yang terjadi? Pelan tapi pasti, penduduk pulau Aya merasakan harga-harga kebutuhan barang dan jasa mereka naik. Mereka tidak tahu apa penyebabnya. Banyak di antara orang meminjam uang dari Gago mengalami gagal bayar. Mereka bukan orang pemalas atau penganggur. Tapi, meski mereka telah bekerja keras, mereka masih kesulitan melunasi utang berikut bunganya. Dan mereka memang tidak akan pernah bisa. Bahkan ketika mereka menjadikan 24 jam untuk bekerja. Lihatlah, uang yang dipinjamkan 900.000 bila ditambah bunga 15 persen, berarti senilai 135.000 atau jumlah total mencapai 1.135.000. Padahal, jumlah uang total yang beredar hanya 1.000.000 (100.000 diberikan sebagai ganti 100.000 keping koin emas ditambah uang baru 900.000 yang dicetak Gago).

Apa jadinya? Penduduk yang dulunya mempunyai watak bisnis kekeluargaan menjadi bisnis yang time is money.
individual dan kompetitif. Kehidupan sosial mereka yang harmonis, penuh toleransi dan tolong menolong perlahan luntur. Masing-masing kepala keluarga harus bekerja keras demi mengejar uang untuk melunasi kewajibannya. Sehingga ketika ada ombak besar menyapu sebagian rumah penduduk, kebiasaan mereka untuk saling bantu luntur. Prinsip saling membantu berubah menjadi

Membantu orang boleh, tapi harus ada kompensasinya :uang.

Hal yang sama pun dialami oleh suku Tukus. Awalnya mereka tidak menyadari. Namun, Lambat laun mereka merasakan perubahan. Kebutuhan pokok yang dulunya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau sebaliknya, kini mulai sedikit bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa terasa harga-harga terus merambat naik. Padahal mereka telah membanting tulang dan bekerja lebih keras. Kerjasama antar warga yang semula menjadi tradisi, lama kelamaan juga mulai luntur. Mereka menjadi egois, diburu kebutuhan masing-masing. Toh di akhir tahun tidak semua bisa membayar kewajibannya atau gagal bayar.

Kerakusan kini menjadi ideologi.

Gago dan Sago memang sangat impresif.

Kepada para penunggak sebagian ada yang dipaksa membayar. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak dan maupun harta benda lainnya pun segera berpindah tuan kepada Gago dan Sago.

Setelah beberapa tahun berselang, Gago dan Sago yang semula datang ke Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang, kini telah menjadi pemilik hampir semua kekayaan di dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi dan properti. Lambat laun, dengan uang, mereka memperoleh kekuasaan baru : menguasai politik negeri itu.

Sementara, di pulau tersebut kemiskinan tiba-tiba seperti menjadi endemik yang terus menyebar cepat. mereka kehilangan waktu untuk saudara dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan. Lebih parah lagi, mereka semakin tidak perhatian satu sama lain

Kejahatan yang semula hanyalah cerita yang sering mereka dengar dari negara antah berantah, kini menghampiri. Prostitusi yang semula begitu tabu, sekarang terjadi di depan hidung mereka. Semua budaya yang datang dari Gago dan Sago, dianggap superior. Budaya lokal pun lambat laun punah. Gago dan Sago telah menguasai semua, tak ada yang tersisa: ekonomi, budaya, kekuasaan, dan keadilan yang bisa mereka beli melalui uang

***

Nah, cerita diatas merupakan ilustrasi kecil dari sistem uang yang saya maksud sangat jahat. Jika anda bisa menangkap makna dari cerita diatas, terdapat tiga elemen mengenai uang yang dimainkan oleh Gago dan Sago untuk memperdaya dan menguasai seluruh sumber daya, yaitu fiat money, fractional reserve requrement, dan interest atau dikenal dengan The Three Pilars Of Evil atau tiga pilar setan. Pada tulisan saya ini, saya akan membahas sedikit ketiga pilar setan tersebut.

Yang pertama adalah Fiat money. Yang saya maksud  Fiat Money adalah mata uang yang di gantikan oleh kertas. Uang kertas adalah kertas yang dinilai menjadi berharga dan secara sah berfungsi sebagai alat pembayaran (legal tender) barang, jasa, ataupun hutang karena diterbitkan oleh pemerintah yang diakui. Jadi ketika pemerintahan tersebut kolaps, maka uang tersebut menjadi tidak berharga. Contohnya negara A menerbitkan uang dengan nominal 100 dolar. Untuk setiap lembar dibutuhkan biaya produksi senilai 10 sen. Bila tiba-tiba pemerintahan A kolaps, maka uang tersebut menjadi kertas yang tidak berarti. Kenapa? karena orang asing tidak mau menerima uang yang tak lagi berharga.

Dengan kata lain, uang kertas tidak bisa diandalkan sebagai alat penyimpan nilai. Karena ia tidak memiliki nilai intrinsik sebagaimana logam mulia. 

Coba bayangkan, ketika penciptaan uang kertas melebihi jumlah barang dan jasa atau output riil yang bisa diproduksi, maka inflasi terjadi. Harga-harga barang dan jasa mengalami tren naik dari waktu  ke waktu. Mereka yang hidupnya memiliki sumber penghasilan tetap seperti buruh dan pegawai paling terpukul oleh dampak yang ditimbulkan lantaran gaji yang mereka terima, nilai riilnya sudah terpotong sekian persen oleh inflasi. Apa bahayanya dari eksisnya uang ini? seperti kisah Sukus dan Tukus, Gago dan Sago yang bermodal kolor (cuma mesin cetak uang) bisa menguasai segala-galanya.

Kedua adalah Fractional Reserve Requirement. Bank sentral sebuah negara mensyaratkan setiap bank yang beroperasi di wilayah otoritasnya untuk menyediakan atau menyimpan sebagian kecil dana yang disetorkan deposan sebagai cadangan. Inilah yang disebut Fractional Reserve Requirement atau biasa disingkat FRR

Jika di contohkan seperti ini, para deposan menyetorkan uang ke bank. Dari pengamatan bank, kebanyakan deposan tidak mencairkan seluruh uangnya, hanya sekitar 10 persen dari simpanannya saja yang sering di ambil. Jadi, ketika deposan menyetorkan uang sebesar 1.000.000 ke bank, dan ketika deposan ingin mengambil uangnya, hanya sekitar 100.000 dia sering mengambil uangnya. Tidak seutuhnya 1.000.000.  Bank masih mempunyai sisa 900.000. Apa yang dilakukan oleh sisanya? bisa diutangkan kepada orang-orang lain. Inilah celah yang berbahaya.

Creating money from nothing !
Bayangkan, berapa banyak uang yang bisa dicetak oleh sistem FRR ini!

Yang ketiga adalah Interest. Interest adalah bunga. Sebagian menyebutnya biaya servis yang dikenakan bank untuk pinjaman atau kredit yang diberikan kepada nasabahnya. Jika bank menetapkan bunga sebesar 10 persen, maka artinya, jika anda meminjam dari bank sebesar 1.000.000, maka anda harus menggantinya 1.100.000. Ini yang membuat sering keblinger. Seperti yang telah dikisahkan di kisah Sukus dan Tukus, Bagaimana mungkin hutang dilunasi ketika jumlah hutang dan jumlah uang yang beredar lebih besar jumlah hutang. Bayangkan jumlah uang yang beredar adalah 1000 lembar, sedangkan hutang yang harus dibayar 1100 lembar. Inilah sesuatu yang keji, dan bahkan agama-agama samawi dalam kitabnya telah melarang keras adanya bunga dalam pinjaman. Inilah salah satu faktor yang mempengaruhi banyak orang yang gagal bayar.

Selain itu ada tiga konsekuensi utama berlakunya bunga. Pertama, bunga akan terus menuntut tercapainya pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, meskipun kondisi ekonomi aktual sudah mencapai titik jenuh atau konstan. Kedua, bunga mendorong persaingan antar para pemain dalam sebuah ekonomi. Ketiga, bunga cenderung memposisikan kesejahteraan pada segelintir minoritas dengan memajaki kaum mayoritas.

Bagaimana ketika ketiga pilar ini bertemu?
Saya biarkan otak anda berfikir liar dan membayangkan bagaimana jadinya.

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Hiduplah dalam realita dengan menghadapi masalah yang real. Anda menolak uang sebagai sesuatu yang baik atau tidak, membenci kekayaan atau tidak, membenci orang kaya atau tidak , atau mensyukuri kemiskinan, atau menganggap kemiskinan sebagai jalan menuju surga. Anda bertanggung jawab membiayai kehidupan yang baik. Jika Anda menyayangi diri Anda sendiri, Anda tidak berlama-lama bertengkar tentang sesuatu yang menjauhkan diri dari perilaku yang menjadikan Anda insan ekonomi yang sukses. Bukan karena kita berkualitas kita menjadi kaya, Tetapi karena kita pantas dipekerjakan. Keluarlah dari kungkungan kesalahan pengertian. Uang itu tidak jahat. Uang itu bukan iblis. Iblis itu orang yang menggunakan uang untuk menistai sesamanya. Anda tidak mungkin bisa mencintai tanpa memberi. Jadi bahagiakanlah keluarga dengan pemberian yang baik, mulai dari yang bisa kita buat sendiri, yang bisa kita kumpulkan dari alam, lalu dari yang bisa kita beli, mudah-mudahan dengan ini kita mengutuhkan cinta kita pada diri sendiri dan kehidupan. Kita tidak lagi bertengkar mengenai uang penting atau tidak, yang penting adalah kita berhasil menjadi pribadi yang membiayai kehidupan yang besar .
    semoga bermanfaat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba anda baca lagi dengan cermat, mungkin anda salah menafsirkan. Yang saya bilang jahat adalah sistemnya bukan uangnya. Itu terdapat pada awalan tulisan ini.

      Saya pun tidak hanya mengkritik tanpa solusi, mungkin nanti saya akan membuat tulisan yang akan membahas tentang solusi dari permasalahan ini.

      Saya hanya ingin orang-orang melek dan tahu tentang sistem ini, supaya dapat mawas diri dari hutang, riba, dan sistem ekonomi kapitalis lainnya.

      Dan saya hidup dalam realita serta menghadapi masalah yang real terjadi. Saya tidak bermimpi atau mengandai-andai.
      Sistem ini memang diterapkan pada tingkatan dunia, dan mengakibatkan ketimpangan ekonomi yang kita alami saat ini.

      Hapus
  3. Eh... Aku jadi ingat sama kajian Al-Qur'an tapi ilmiah di masjid kampus. Lupa namanya apaan. Belum pernah ikut tapi bisa bayangin isinya. Aku sendiri pernah mengkritisi soal percampuran laki-laki dan perempuan yang dalilnya ditelan mentah sama temanku yang asalnya dari pondok,tentu lewat tulisan. Bukan salah pondoknya,tapi pola pikir anak itu sebagai individu kebetulan menyedihkan dan dogmatis.

    Tulisan kamu bisa disambung juga sama dalil yang tertera di agama,Lim. Sampai kapan pun,kajian ilmiah soal agama enggak bakalan surut. Tulisan jenismu ini yang aku tunggu-tunggu apalagi kalau disambung sama dalil agama. Tulisan yang demikian itu, bisa jadi jawaban biar sebagai umat terbiasa menganalisa,meneliti dan berpikir bukan menerima sesuatu secara dogmatis.

    Selama ini, banyak orang menolak bunga dalam uang melulu cuma perkara dalil, ndak ada perpanjangan analisa kenapa dan mengapa. Dogmatis.

    Kelola lagi tulisanmu ini, Lim.
    ..

    BalasHapus
  4. Hebatnya, tanpa .... (terpotong)

    BalasHapus