Tulisan yang akan dijabarkan kemudian adalah tulisan dari bapak Handry Satriago, beliau adalah CEO dari GE Indonesia.
Jakarta, 9
Juli 2012
Kepada para
pemimpin Indonesia Masa depan
Di dunia
yang semakin global
Saat saya menulis ini kepada Anda, dunia yang saya huni ini mampu
membuat 112 buah mobil dalam 1 menit, menerbangkan orang non-stop dari Singapura
ke New York dalam 18 jam, dan menghasilkan produk “Made in The World” seperti
celana jeans yang
saya pakai sekarang. Karena, walaupun saya beli di Bandung dan berlabelkan
“Made in Indonesia”, celana ini melibatkan lebih dari 15 negara dalam value chain pembuatannya.
Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang mampu
mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0.23 detik untuk pencarian kata
“leadership”, saya membayangkan keterbatasan mencari pengetahuan yang dihadapi
ayah saya, saat mimpinya untuk sekolah sirna karena perang yang berkecamuk.
Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak
keterbatasannya dengan merantau dan berjibaku untuk survive di berbagai kota
di Sumatera hingga akhirnya sampai di Jakarta, tidakkah dia
takut dengan
keterbatasannya?
Usianya baru 15 tahun saat itu, dan hidup tidak berjalan seperti
yang dia inginkan.
Saya juga terkenang dengan peristiwa mengerikan yang saya hadapi
sendiri pada tahun 1987, ketika tiba-tiba divonis menderita lymphoma non-hodkin- kanker
kelenjar getah bening, yang tumbuh di medulla spinalis saya
dan merusaknya sedemikian rupa sampai saya kehilangan kemampuan untuk berjalan.
Bulan-bulan yang melelahkan karena harus berobat kesana-kemari, dan akhirnya
berujung kepada keharusan menjalankan hidup dengan menggunakan kursin roda.
Saya ingat betul betapa takutnya saya untuk menjalani hidup saat itu.
Keterbatasaan menghadang di banyak hal.
Usia saya baru 17 tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh dari
yang saya harapkan. Apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma
menjadi tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus
dilontarkan kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan terus mundur?
saya, dan mungkin juga ayah saya waktu itu, memulainya dengan
menerima kenyataan. menerima bahwa jalan tidak lagi mulus, bahwa lapangan
pertempuran saya jelek, dan amunisi saya tidak lengkap. “Reality bites” kata orang. Betul itu. tapi
menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampu menyusun strategi baru.
Menghindarinya atau lari darinya justru membuat kita terlena mengasihani diri
kita terus-menerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk dapat melawan balik.
Kemudian saya mengumpulkan kembali puing-puing mimpi saya. Tidak!
Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dillumpuhkan, bahkan
dibunuh, tapi mimpi akan tetap hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan
melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan, tapi tidak akan
hilang. Dengan usaha keras, kita bisa menyusunnya kembali dan ketika mimpi itu
telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberikan cahaya terhadap
pilihan jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya.
Dua puluh enam tahun menjalani kehidupan dengan kursi roda membuat
saya semakin yakin bahwa Yang Maha Kuasa memang telah menciptakan kita untuk
menjadi mahluk yang paling tinggi kemampuan survive nya di muka bumi ini. Kita diberikan
rasa takut, yang merupakan mekanisme primitif yang dimiliki organisme
untuk survive, yaitu
keinginan untuk lari dari ancaman, atau.. melawannya! Ketikaa pilihannya adalah
melawan, maka perangkat perang telah disiapkanNYA untuk kita. Perangkat perang
itu terwujud dalam kemampuan bouncing
back-daya pantul, yang jika digunakan mampu membuat kita memantul
tinggi ketika kita dihempaskan ke tanah. Kitalah yang bisa membuat daya pantul
itu bekerja. Jika kita tak ingin melawan, perangkat perang tersebut bahkan
tidak akan hadir.
Berpuluh kali, atau beratus kali atau mungkin beribu kali saya
diserang rasa takut ketika menjalani kehidupan dengan kursi roda ini. Ketika
membuat pilihan kembali ke sekolah, ketika menyeret kaki untuk menaiki tangga
bioskop agar bisa menemani wanita pujaan menonton, ketika memutuskan untuk
kuliah, ketika menghadapi 4 lantai untuk bisa pratikum kuliah, ketika harus
menjalani kemoterapi, ketika memulai bekerja, ketika naik pesawat, ketika
melamar calon istri, ketika mulai bekerja di GE yang penuh dengan orang asing,
ketika menerima tawaran untuk memimpin GE di Indonesia….. Saya takut. Tembok
besar berdiri tegak, angkuh, dan ribuan panah berapi menghujani saya.
Namun seiring dengan rasa takut yang timbul tersebut, mimpi saya
untuk dapat menjalankan dan menikmati hidup menerangi jalan yang ingin saya
tempuh. Dan ketika perangkat perang-semangat untuk memantul, saya gunakan, saya
seakan menjelma menjadi jenderal yang siap perang, yang didukung oleh ribuan
pasukan-keluarga, teman, bahkan orang yang tak dikenal, yang tiba-tiba hadir
karena mereka percaya terhadap keyakinan saya, Saya harus maju berperang,
dengan keyakinan bahwa perperanganlah yang harus saya jalani, saya nikmati.
Hasil perperangan sendiri tidaklah terlalu penting, karena kalaupun kalah, toh
saya akan berperang lagi. Kalau mati, saya akan mengakhiri perang dengan
senyum, karena saya tahu telah berjuang dengan sebaik-baiknya. Sang Pencipta
lah yang pada akhirnya memilihkan hasil dari perjuangan kita.
Menjadi pemimpin bermula dari memimpin diri sendiri. Mewujudkan
mimpi yang ingin dicapai. Tidak perlu membayar orang untuk menjadi pengikut.
Jika mereka melihat anda dengan penuh keyakinan berani memimpin diri anda
sendiri, mereka akan mengikuti dan membantu anda dengan tulus, serta percaya
pada kepemimpinan anda.
Saat saya menulis surat ini kepada anda, dunia tempat saya hidup
sekarang ini menghasilkan pendapatan kotor setahun $70 triliun. Sekitar 40%
dari pendapatan dunia tersebut dihasilkan oleh 500 korporasi terbesar di dunia,
dan tidak ada satupun yang berasal dari negara kita (133 dari Amerika Serikat,
79 dari China, 8 dari India). terdapat sekurangnya 136 negara yang berkompetisi
di dunia ini untuk mendapatkan keuntungan terbanyak dari proses ekonomi global,
dan daya saing Indonesia terukur pada ranking 46. Singkat kata, kita masih
belum menjadi pemeran utama di panggung dunia yang tak behenti mengglobal.
Pekerjaan rumah anda sebagai pemimpin Indonesia tidaklah mudah.
Tidak berarti, tembok besar dan ribuan anak panah api bisa menghentikan langka
anda untuk berperang!
Handry Satriago
0 komentar:
Posting Komentar